CORETAN KURIKULUM 2013
“Pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin),
pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak. Bagian-bagian itu tidak boleh
dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”
Ki Hajar
Dewantara (1889-1959)
Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) baru saja paruh tahun dilaksanakan. Meski demikian, wacana
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), ihwal tentang kurikulum baru, ‘pengganti’
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menuai berbagai pro-kontra. Rencana
tersebut mendapatkan banyak dukungan karena subtansinya menarik, yakni
pencapaian peserta didik yang aktif, kretif dan berkarakter. Kurikulum baru ini,
secara tidak langsung juga dapat meringankan siswa dari beban Kurikulum 2006
yang terlalu banyak pelajaran. Namun, kontra perubahan mencolok pada bidang
studi di tingkat dasar (SD). Mata pelajaran (mapel) yang kemarin berjumlah 10,
dipangkas menjadi tiga. Mapel IPA dan IPS akan diintegrasikan menjadi satu ke
dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan mapel muatan lokal (Bahasa Inggris dan Bahasa
Daerah) cukup menjadi pelajaran ekstra. Jadi hanya akan ada enam Mapel; Agama,
PPKn, Matematika dan Bahasa Indonesia sebagai pelajaran pokok, sedangkan Olah
Raga dan Kesehatan Jasmani serta Seni Budaya dan Prakarya sebagai pelajaran
tambahan.
Wacana ini memang belum
disahkan. Bahkan persiapannya saja masih dalam tahap uji publik, namun jika
benar diaplikasikan pada 2013/2014, maka torehan buruk bagi wajah pendidikan nasional.
Pasalanya, pemerintah menginginkan agar nantinya produk sumber daya manusia
Indonesia mampu bersaing dengan negara tetangga seperti Jepang, Malaysia,
Thailand dan Singapura terutama di bidang sains. Namun, menghilangnya mapel IPA
pada tingkat dasar justru akan menjauhkan jarak Indonesia dari negara-negara
maju pada bidang ini.
Dalam berbagai
kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menjelaskan, dua
mapel ini tidak dihilangkan begitu saja, akan tetapi menjadi objek pembelajaran
tematik intregatif. Misalnya, ketika membahas sungai di Bahasa Indonesia, dari
segi IPA masuk materi soal curah hujan, lingkungan, dan sebagainya. Materi
IPS-nya masuk dalam bentuk manfaat sungai bagi masyarakat, perlunya menjaga
lingkungan dan sebagainya. Pengintegrasian ini sebenarnya justru akan memperburuk kemampuan siswa pada
logika dan nalar. Dengan kondisi seperti ini, maka frekuensi pengembangan
kecakapan siswa di bidang nalar dan logika semakin kecil.
Kompetensi
Pengajar
Rencana ini tidak sepenuhnya
ditolak, namun masalahnya ada pada kompetensi guru. Apakah para guru sudah siap
dengan perubahan ini? Perubahan baru. Tentu saja cara pengajarannya harus
berubah. Naskah KTSP yang begitu indah dan menarik saja belum tentu secara
merata dikuasai oleh para pendidik. Apalagi dengan kurikulum anyar yang masih mbulet. Meski pada bulan Desember
kemarin uji publik mulai dilakukan, nyatanya sampai sekarang belum bisa merata.
Meningkatnya anggaran
dana pendidikan sebesar 20 persen (APBN) seharusnya tidak hanya digunakan untuk
menggaji para guru. Tapi, dana ini sebaiknya juga digunakan untuk meningkatkan
kualitas para pendidik. Bukan malah meningkatkan kuantitas guru karena
iming-iming gaji besar. Sehingga, terjadi rumor di tengah masyarakat bahwa
beprofesi sebagai guru (PNS) itu pekerjaannya enak dan menyenangkan. Padahal,
itu sungguh tidak benar. Pekerjaan guru amat berat. Tidak hanya mengajar ‘kepala’,
tapi juga mendidik akhlak karimah dan hati nurani tiap individu. Dampaknya,
jabatatan sebagai guru PNS banyak diselewengkan para guru nakal. Sawah dijual,
sapi dijual hanya untuk membeli SK PNS.
Sebaiknya pemerintah
membuat program berupa pelatihan, seminar, bahkan penyuluhan secara rutin.
Minimal setiap bulan, bahkan jika perlu setiap minggu. Sekaligus evaluasi kurikulum
dan kerja pendidik. Untuk memaksimalkan aplikasi kurikulum yang sudah ada. Apakah
ini mungkin? Triliunan APBN setiap tahun digelontorkan untuk pendidikan. Saya
kira, jika sekedar pelatihan dan evaluasi reguler, ini memungkinkan, daripada anggaran
ini dihamburkan untuk sertifikasi para pendidik yang sudah bergaji pegawai
sipil.
Saya kira, Jepang adalah
satu-satunya negara yang merasakan betapa panasnya bom nuklir. Setelah kota
industri Hirosima dan Nagasaki runtuh dan ribuan bahkan jutaan manusia berjatuhan.
Jepang benar-benar lumpuh. Hal pertama yang dilakukan kaisar Jepang saat itu
adalah menanyakan berapa jumlah pendidik dan infrastruktur pendidikan yang
masih tersisa. Kemudian mulai membangun peradabannya kembali dengan pendidikan.
Dengan memaksimalkan ketersediaan jumlah pendidik yang ada. Tidak lantas
merubah kurikulumnya. Namun, dalam kurun 30 tahun, Jepang telah menjelma sebagai
salah satu dari 5 negara yang paling berpengaruh dalam bidang ekonomi global.
Tidak Perlu
Mencontoh
Perubahan sistem memang
perlu. Guna menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Namun tak perlu-lah kita
mencontoh dari sana-dari sini. Toh sebetulnya, pendidikan yang telah kita
miliki jauh lebih hebat dari negara-negara Jiran. Pembaca tentu telah membaca
kutipan di atas. Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara jauh sebelumnya
telah merumuskan apa itu pendidikan karakter. Beliau mengartikan pendidikan
sebagi penyelarasan aspek Hati
(Kognitif), Fisik (Psikomotorik) dan Otak (Afektif) ke dalam satu kesatuan yang
tak bisa dipisahkan. Jadi, saya rasa tidak perlu kita mencontoh pendidikan
modern ala Eropa, Amerika, Jepang dsb. Yang sebenarnya juga masih banyak
kekurangan. Sehingga, imbasnya selalu mengganti kurikulum yang sudah ada.
Sementara, ICW
(Indonesia Corruption Watch) menduga bahwa setiap perubahan kurikulum adalah
bisnis besar bagi para atasan. Pergantian kurikulum hanya sebagai jalan untuk
mencairkan dana yang disediakan. Buku, dan semua alat yang berkaitan dengan
edukasi tentu diganti. Dan memerlukan dana yang tak kecil. Maka kemudian muncul
anggapan: ganti pejabat ganti kurikulum. Jika ini yang terjadi, maka saya
ulangi sekali lagi: torehan buruk bagi wajah pendidikan nasional. Lalu, siapa
yang akan ber tanggungjawab? (ekopramono300@gmail.com)
Disusun Oleh David Eko Pramono
Penulis adalah Anggota Redaksi, Semester 7 Jurusan Bahasa
Inggris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar