Jumat, 22 Februari 2013

ARTIKEL---CORETAN KURIKULUM 2013


CORETAN KURIKULUM 2013

“Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”
Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) baru saja paruh tahun dilaksanakan. Meski demikian, wacana Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), ihwal tentang kurikulum baru, ‘pengganti’ KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menuai berbagai pro-kontra. Rencana tersebut mendapatkan banyak dukungan karena subtansinya menarik, yakni pencapaian peserta didik yang aktif, kretif dan berkarakter. Kurikulum baru ini, secara tidak langsung juga dapat meringankan siswa dari beban Kurikulum 2006 yang terlalu banyak pelajaran. Namun, kontra perubahan mencolok pada bidang studi di tingkat dasar (SD). Mata pelajaran (mapel) yang kemarin berjumlah 10, dipangkas menjadi tiga. Mapel IPA dan IPS akan diintegrasikan menjadi satu ke dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan mapel muatan lokal (Bahasa Inggris dan Bahasa Daerah) cukup menjadi pelajaran ekstra. Jadi hanya akan ada enam Mapel; Agama, PPKn, Matematika dan Bahasa Indonesia sebagai pelajaran pokok, sedangkan Olah Raga dan Kesehatan Jasmani serta Seni Budaya dan Prakarya sebagai pelajaran tambahan.
Wacana ini memang belum disahkan. Bahkan persiapannya saja masih dalam tahap uji publik, namun jika benar diaplikasikan pada 2013/2014, maka torehan buruk bagi wajah pendidikan nasional. Pasalanya, pemerintah menginginkan agar nantinya produk sumber daya manusia Indonesia mampu bersaing dengan negara tetangga seperti Jepang, Malaysia, Thailand dan Singapura terutama di bidang sains. Namun, menghilangnya mapel IPA pada tingkat dasar justru akan menjauhkan jarak Indonesia dari negara-negara maju pada bidang ini.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menjelaskan, dua mapel ini tidak dihilangkan begitu saja, akan tetapi menjadi objek pembelajaran tematik intregatif. Misalnya, ketika membahas sungai di Bahasa Indonesia, dari segi IPA masuk materi soal curah hujan, lingkungan, dan sebagainya. Materi IPS-nya masuk dalam bentuk manfaat sungai bagi masyarakat, perlunya menjaga lingkungan dan sebagainya. Pengintegrasian ini sebenarnya  justru akan memperburuk kemampuan siswa pada logika dan nalar. Dengan kondisi seperti ini, maka frekuensi pengembangan kecakapan siswa di bidang nalar dan logika semakin kecil.

Kompetensi Pengajar
Rencana ini tidak sepenuhnya ditolak, namun masalahnya ada pada kompetensi guru. Apakah para guru sudah siap dengan perubahan ini? Perubahan baru. Tentu saja cara pengajarannya harus berubah. Naskah KTSP yang begitu indah dan menarik saja belum tentu secara merata dikuasai oleh para pendidik. Apalagi dengan kurikulum anyar yang masih mbulet. Meski pada bulan Desember kemarin uji publik mulai dilakukan, nyatanya sampai sekarang belum bisa merata.
Meningkatnya anggaran dana pendidikan sebesar 20 persen (APBN) seharusnya tidak hanya digunakan untuk menggaji para guru. Tapi, dana ini sebaiknya juga digunakan untuk meningkatkan kualitas para pendidik. Bukan malah meningkatkan kuantitas guru karena iming-iming gaji besar. Sehingga, terjadi rumor di tengah masyarakat bahwa beprofesi sebagai guru (PNS) itu pekerjaannya enak dan menyenangkan. Padahal, itu sungguh tidak benar. Pekerjaan guru amat berat. Tidak hanya mengajar ‘kepala’, tapi juga mendidik akhlak karimah dan hati nurani tiap individu. Dampaknya, jabatatan sebagai guru PNS banyak diselewengkan para guru nakal. Sawah dijual, sapi dijual hanya untuk membeli SK PNS.
Sebaiknya pemerintah membuat program berupa pelatihan, seminar, bahkan penyuluhan secara rutin. Minimal setiap bulan, bahkan jika perlu setiap minggu. Sekaligus evaluasi kurikulum dan kerja pendidik. Untuk memaksimalkan aplikasi kurikulum yang sudah ada. Apakah ini mungkin? Triliunan APBN setiap tahun digelontorkan untuk pendidikan. Saya kira, jika sekedar pelatihan dan evaluasi reguler, ini memungkinkan, daripada anggaran ini dihamburkan untuk sertifikasi para pendidik yang sudah bergaji pegawai sipil.
Saya kira, Jepang adalah satu-satunya negara yang merasakan betapa panasnya bom nuklir. Setelah kota industri Hirosima dan Nagasaki runtuh dan ribuan bahkan jutaan manusia berjatuhan. Jepang benar-benar lumpuh. Hal pertama yang dilakukan kaisar Jepang saat itu adalah menanyakan berapa jumlah pendidik dan infrastruktur pendidikan yang masih tersisa. Kemudian mulai membangun peradabannya kembali dengan pendidikan. Dengan memaksimalkan ketersediaan jumlah pendidik yang ada. Tidak lantas merubah kurikulumnya. Namun, dalam kurun 30 tahun, Jepang telah menjelma sebagai salah satu dari 5 negara yang paling berpengaruh dalam bidang ekonomi global.

Tidak Perlu Mencontoh
Perubahan sistem memang perlu. Guna menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Namun tak perlu-lah kita mencontoh dari sana-dari sini. Toh sebetulnya, pendidikan yang telah kita miliki jauh lebih hebat dari negara-negara Jiran. Pembaca tentu telah membaca kutipan di atas. Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara jauh sebelumnya telah merumuskan apa itu pendidikan karakter. Beliau mengartikan pendidikan sebagi penyelarasan aspek  Hati (Kognitif), Fisik (Psikomotorik) dan Otak (Afektif) ke dalam satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Jadi, saya rasa tidak perlu kita mencontoh pendidikan modern ala Eropa, Amerika, Jepang dsb. Yang sebenarnya juga masih banyak kekurangan. Sehingga, imbasnya selalu mengganti kurikulum yang sudah ada.
Sementara, ICW (Indonesia Corruption Watch) menduga bahwa setiap perubahan kurikulum adalah bisnis besar bagi para atasan. Pergantian kurikulum hanya sebagai jalan untuk mencairkan dana yang disediakan. Buku, dan semua alat yang berkaitan dengan edukasi tentu diganti. Dan memerlukan dana yang tak kecil. Maka kemudian muncul anggapan: ganti pejabat ganti kurikulum. Jika ini yang terjadi, maka saya ulangi sekali lagi: torehan buruk bagi wajah pendidikan nasional. Lalu, siapa yang akan ber tanggungjawab? (ekopramono300@gmail.com)


Disusun Oleh David Eko Pramono
Penulis adalah Anggota Redaksi, Semester 7 Jurusan Bahasa Inggris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar